Muhammad Toha_SB3
Deteksi Dini 9 Kekeliruan dalam Mendidik Anak
Kekeliran Pertama :
GANTUNGKANLAH CITA-CITAMU
SETINGGI BINTANG DI LANGIT!
Bintang di Langit
Mengapa motivasi menggatungkan
cita-cita setinggi bintang di langit adalah sebuah kekeliruan? Padahal istilah
tersebut sudah sangat akrab di telinga kita.
Karena menggantungkan cita-cita setinggi bintang di langit adalah
cenderung duniawi. Akibatnya karena mengejar cita-cita yang serba tinggi
tersebut banyak orang yang menghalalkan segala cara, alias halal haram hantam.
Maka tidak heran jika kekeliruan
motivasi yang cenderung duniawi tersebut
akhirnya melahirkan perlombaan-perlombaan yang juga keliru.
Perlombaan mengejar gelar yang
tinggi, terkadang dengan cara nyontek, jual beli kunci jawaban karena bagi
mereka yang penting adalah ijazahnya bukan ilmunya.
Perlombaan mendapatkan pekerjaan
tinggi, sehingga menjadi rahasia umum
masalah suap-menyuap, sogok menyogok untuk mendapatkan pekerjaan yang
bergengsi.
Perlombaan menjadi pejabat, dengan
cara menjilat, saling sikut atau menggunting dalam lipatan biar mendapat jabatan
dalam posisi yang “basah.”
Perlombaan mengumpulkan kekayaan; dengan
cara penipuan, main tuyul, perjudian, pencurian, perampokan dan korupsi menjadi
salah satu usaha untuk mewujudkan cita-cita setinggi bintang dilangit tersebut.
Dan jika “sukses” mewujudkan
cita-cita setinggi bintang dilangit
sebagaimana diatas, yaitu sukses mendapat gelar yang tinggi, sukses
mendapatkan pekerjaan bergengsi, sukses duduk di jabatan yang basah dan sukses mengumpulkan harta benda, lalu apa
hasilnya?
Inilah hasilnya :
“Sekali-kali tidak!
Sungguh manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba
cukup.”
(QS. Al-Alaq : 6-7).
Nauzubillahimindzalik,
perhatikanlah selain prosesnya menghalalkan segala cara maka hasilnya juga
mengecewakan, dengan demikian kesuksesan yang didapatkan tidak memberikan
berkah, bahkan mereka akan menjadi orang
yang sombong, angkuh, berbuat sewenang-wenang dan anti kebaikan seperti Abu
Jahal (HR. Ibnu Jarir. Lihat Ibnu katsir : 6/343).
Sidratul Muntaha
Jika menggantungkan cita-cita
setinggi bintang di langit adalah sebuah kekeliruan, lalu apa solusinya?
Solusinya adalah : Gantungkanlah
cita-citamu setinggi Sidratul Muntaha.
Dibanding bintang di langit maka sesungguhnya Sidratul Muntaha jauh lebih
tinggi, ia berada diatas langit ketujuh. Dengan demikian ibaratnya antara
Bintang di Langit dan Sidratul Muntaha sama-sama tinggi tapi bintang di langit jauh
kalah level.
Akan
tapi bukan hanya sekedar karena faktor lebih tinggi semata-mata yang menjadi
focus bahasan kita disini melainkan karena dengan menyebut Sidratul Muntaha menggambarkan
keseimbangan, ia tidak cenderung duniawi semata, melainkan kecenderungan dunia akhirat.
Motivasi
Sidratul Muntaha akan mengingatkan anak-anak kepada peristiwa yang sangat luar
biasa yaitu mukjizat Isra’ Mi’rajnya nabi Muhammad SAW.
Diantara
hal-hal yang dialami Rosulullah SAW dalam peritiwa Isra’ Mi’raj tersebut adalah
:
1.
Ada
perjalanan nabi dari Masjidil Haram sampai ke Masjidil Aqsho.
2.
Ada
kisah tentang kendaraan Buraq, kendaraan tercepat di dunia.
3.
Ada
suasana luar angkasa, yaitu perjalanan dari langit kesatu sampai ketujuh.
4.
Ada
pertemuan dengan nabi-nabi disetiap tingkatan langit tersebut.
5.
Ada
kebersamaan Rosulullah SAW dalam perjalanan tersebut dengan malaikat Jibril.
6.
Ada
pemandangan neraka dengan berbagai gambaran calon penghuninya.
7.
Ada
pemandangan surga yang saking indahnya tidak pernah dilihat oleh mata kita di
dunia ini bahkan belum pernah terlintas dalam pikiran.
8.
Ada
proses penerimaan kewajiban shalat 5 waktu di Sidaratul Muntaha langsung dari
Allah SWT.
Intinya
memotivasi agar bercita-cita setinggi Sidratul Muntaha maka sama saja dengan
membimbing anak-anak kepada kesadaran Ulil Albaab sebagaimana berikut ini :
“(Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan
langit
dan bumi (seraya berkata) :
“Wahai Tuhan kami,
tidaklah Engkau menciptakan semua ini
sia-sia; Maha Suci Engkau,
lindungilah kami dari azab neraka.”
(QS. Ali Imran : 191).
Kepada anak-anak kita motivasi agar menggantungkan cita-cita setinggi
Sidratul Muntaha, kepada Allah SWT kita banyak-banyak berdoa sebagaimana doa
nabi Ibrahim as, berikut :
“Wahai Tuhanku, anugerahkanlah
kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang sholeh.” (QS. Ash-Shaffat
: 100).
Anak yang shaleh ketika
kecilnya menjadi penyejuk mata penyenang hati dan pelipur lara.
Sehingga kalaupun nanti anaknya memiliki gelar, pekerjaan, jabatan dan
harta bendang banyak maka ia tetap orang yang sholeh, ia tidak merasa serba
cukup lalu melampaui batas.
Jika sukses orang yang sholeh akan
selalu bersyukur atas nikmat
Allah swt sebagaimana nabi Sulaiman as.
Sebaliknya jika anaknya tidak memiliki kekayaa atau kekuasaan ia tetap
orang yang sholeh, yang tidak meratap dan tidak berputus asa.
Jika tidak sukses ‘secara duniawi’ maka orang sholeh akan tetap tangguh
dalam kehidupan ini dan selalu
bersabar sebagaimana nabi Ayub as.
Kesimpulan.
Mengapa kita harus menghindari
paradigma yang keliru dan mengapa kita perlu memiliki paradigma yang benar
dalam menggantungkan cita-cita?
Jawabannya adalah agar kita berada dalam rel yang benar, agar kita berada dalam sebuah gerbong
yang jelas dan agar kita sampai ke
terminal akhir yang harum semerbak nan mewangi.
“Wahai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan puas
dan diridhoi-Nya. Maka masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku,
dan masuklah kedalam surga-Ku.”
(QS. Al-Fajr : 27 – 30).
Ilustrasi
Al-kisah dua orang sahabat melakukan
perjalanan panjang untuk mencari pekerjaan. Suatu hari mereka beristirahat
dalam sebuah gua, ternyata betapa terkejutnya mereka didalam gua tersebut ada sekarung emas yang tidak ada pemiliknya.
Tentu, meski sangat bersuka cita tapi
mereka berdua tidak akan sanggup membawa pulang
sekarung emas tersebut karena mereka kehabisan bekal makanan dan
minuman, sehingga tenaga masih lemah dalam kondisi lapar dan haus.
Kemudian
mereka bersepakat membagi dua harta tersebut, orang pertama menunggu sekarung
emas tersebut di gua dan orang kedua membeli makanan ke kampung terdekat.
Dalam
perjalanan orang kedua yang akan membeli makanan tersebut berpikir, seandainya
sekarung emas tersebut tidak dibagi dua tentu ia akan kaya raya. Tidak ada cara
agar sekarung emas tersebut menjadi miliknya sendiri melainkan temannya yang
sedang menunggu sekarung emas tersebut harus disingkirkan dari muka bumi ini
dengan cara makanan yang ia akan berikan kepada temannya tersebut dicampur
dengan racun.
Rambut
boleh sama hitam tapi pikiran orang pertama yang sedang menunggu sekarang emas
di
guapun ternyata juga sama, seandainya sekarang emas
itu hanya menjadi miliknya tentu ia akan kaya raya dan terkenal. Maka ketika
orang yang membawa makanan beracun itu datang segera ia pukul dengan kayu
hingga menggelepar mengeluarkan darah dan tewas seketika.
Setelah
puas dapat membunuh sahabatnya dan bersiap-siap untuk membawa sekarung emas itu
pulang tidak lupa ia makan terlebih dahulu biar kuat dan segar bugar. Dapat dibayangkan ia menikmati makanan yang
telah dicampur dengan racun oleh temannya sendiri, akhirnya iapun tewas
seketika di tempat.
Itulah
gambaran jika cita-cita tertingginya hanya sebatas bintang di langit (duniawi),
mereka menghalalkan segala cara untuk menggapai cita-citanya.
Muhammad Toha_SB3
Deteksi Dini 9 Kekeliruan dalam Mendidik Anak
Kekeliruan Kedua :
MENEBAR
PESAN KEBENCIAN
Pesan Ancaman.
“Awas nak jika kamu suka berbohong nanti lidahmu dipotong oleh Allah SWT!”
“Awas nak kalau mencuri nanti tanganmu
dipotong oleh Allah SWT!”
“Awas nak, jika tidak
mau shalat, tidak mau puasa nanti Allah marah, Allah akan murka kepadamu!.”
“Hati-hati nak jika suka
nakal, suka mengganggu orang lain nanti dimasukkan Allah ke neraka, dineraka
itu apinya panas membara dan menyala-nyala, orang yang hidup didalam neraka
hidup tidak matipun tidak!”
Itulah
contoh Pesan Kebencian dari orang tua keada anaknya. Niat awalnya mungkin bagus
yaitu mengharapkan anaknya jujur dan tidak nakal.
Akan
tetapi tanpa disadari didalam nasehat tersebut ternyata mengandung Pesan
Benci, adalah sesuatu yang sangat mengerikan
bagi masa depan anak-anak usia dini, karena jika sering mendengar ancaman
seperti diatas maka akan terekam dalam ingatan sang anak bahwa Allah itu kejam,
suka menghukum, seperti memotong lidah da n tangan serta menyediakan tempat
penyiksaan yaitu api neraka yang
menyala-nyala.
Yang
terjadi kepada anak-anak yang terserang pesan benci tersebut, bukannya takut
lalu mendekat kepada Allah SWT, melainkan memang takut tapi menjauh dari Alllah SWT.
Selanjutnya
di alam bawah sadar anak tersebut akan terjadi penolakan-penolakan terhadap
perintah Allah swt. Ketika di ajak mendirikan shalat tentu sang anak akan menolak
kalaupun mau akan melaksandengan sangat terpaksa. Apalagi jika diajak berpuasa,
harus bangun malam-malam untuk makan sahur ketika mata mengantuk dan perut
kenyang, dan menahan lapar dan haus selama seharian, tentu hal ini menambah
perbendaharaannya, setelah potong lidah, masuk neraka lalu di dunia sudah
mengalami penyiksaan awal yaitu berlapar dan berhaus-haus.
Akibatnya
bukan hanya menolak perintah yang sifatnya ibadah tapi ia akan selalu berburuk
sangka terhadap apa yang datangnya dari Allah SWT, ia akan berburuk sangka dan
alergi kepada Al-Qur’an, kepada Nabi-Nabi,
kepada para ulama dan akan berburuk
sangka, melecehkan, menolak, dan
memusuhi Islam.
Selain
karena kekeliruan orang tua kepada anaknya maka pesan kebencian ini juga ditanamkan
oleh para penjajah dan para pengikutnya kepada bukan hanya anak-anak tapi juga
kepada orang dewasa.
Istilah-istilah
buruk umumnya hanya dialamatkan kepada umat Islam yang bersalah atau hanya
dituduh bersalah dan beritanya dibesar-besarkan, seperti istilah; Islam fundamentalis, pemberontak, intoleran, anarkis,
teroris dll.
Tujuan
jangka pendeknya agar umat Islam malu
dengan Islam, minder dengan Islam, menjauhi nilai-nilai Islam dan membenci
tokoh-tokoh Islam.
Pesan Cinta.
Jika menebar Pesan Benci sangat
berbahaya maka solusinya adalah Menebar Pesan Cinta.
Jika anak usia dini sedang bermain
bola kaki atau permainan yang menimbulkan rasa haus lainnya maka siapkanlah air
minum didalam sebuah gelas. Setelah ia merasa lega dan puas menikmati air minum
tersebut maka berdialoglah!
Ibu : ”Nak,
siapa yang menciptakan air tersebut?
Anak : “Allah.”
Jika
ia ingin memakan buah-buahan maka carikan buah yang paling enak sesuai
seleranya, misalnya buah durian. Ketika ia memakan buah durian tersebut temani
dan perhatikan dengan seksama, setelah menikmati manis dan renyahnya buah
durian tersebut lalu?
Ibu :”Siapa
sayang yang menciptakan buah durian ini?
Anak
: ”Allah.”
Malam-malam
ketika cuaca cerah, ajak ia keluar rumah untuk menikmati indahnya
bintang-bintang yang bertaburan, lalu tanyakan kepadanya.
Ibu
: “Siapa yang menciptakan bintang-bintang nun jauh diujung langit sana,
nak?
Anak
:”Allah.”
Subhaanallah,
inilah contoh Pesan Cinta. Jika didalam pikiran dan hatinya telah tertanam
bahwa Allah Maha Pencipta, Maha Kuasa,
Maha Pengasih dan Penyayang maka pasti akan tumbuh dan berkembang rasa cintanya
kepada Allah swt.
Ketika
rasa cinta kepada Allah swt telah tumbuh, maka jangankan diajak shalat,
berpuasa atau perbuatan baik lainnya, di sembelihpun ia siap karena ia berbaik
sangka, ia yakin bahwa Allah SWT tidak akan berbuat zolim dan pasti memperlakukan
dirinya dengan baik, sebagaimana nabi Ismail kecil yang patuh kepada orang
tuanya dan siap mengikuti perintah Allah swt meskipun harus berdarah-darah.
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya
(Ibrahim) berkata,
“Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”
Dia (Ismail) menjawab,
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu!
Insya Allah engkau akan mendapatiku
termasuk orang yang sabar.”
(As-Shaffat : 102).
Muhammad Toha_SB3
Deteksi Dini 9 Kekeliruan dalam Mendidik Anak
Kekeliruan
Ketiga :
MENDAHULUKAN
TEORI
Mendahulukan Teori
Ketimbang Praktek
Apakah kita bisa makan dan minum
ketika kecil karena diajarkan teorinya terlebih dahulu atau langsung praktek?
Apakah
kita bisa mengucapkan bahasa ibu kita didahuli belajar teori terlebih dahulu
atau langsung praktek?
Apakah
ketika kita belajar bersepeda, sebelumnya kita belajar teorinya dulu atau
langsung praktek?
Ternyata
pasti umumnya orang akan menjawab semua pertanyaan diatas dilakukan karena langsung praktek tanpa teori
terlebih dahulu.
Mengapa
banyak anak-anak malas belajar alias minat belajarnya rendah? Karena yang ia
tahu rajin belajar itu ada di teori, perintah orang tuanya saja, tapi hampir tidak pernah ia melihat orang
tuany belajar, misal membaca buku atau menulis. Jadi anak tersebut diajar teori
terlebih dahulu ketimbang diajak praktek, maka
jangan terlalu berharap ia akan rajin belajna ar.
Mengapa
banyak orang yang jarang memakmurkan masjid atau mendirikan shalat di masjid?
Karena
baiknya memakmurkan masjid atau shalat lima waktu di masjid itu adanya hanya
didalam teori, tapi sejak kecil ia
jarang bahkan bisa jadi tidak pernah diajak oleh orang tuanya prkatek shalat
lima waktu di masjid, kalaupun di ajak shalat di masjid paling-paling ketika
hari jumat atau ketika bulan Ramadhan. Maka tidak heran jika kebanyakan
shaf-shaf shalat di Masjid hanya penuh ketika shalat jumat atau ketika shalat tarawih
di bulan Ramadhan saja.
Pertanyaan
yang sama dapat kita ajukan misalnya; mengapa anak tidak jujur, tidak suka
memberi, tidak mudah melaksanakan jika diperintah?
Bisa
jadi hal tersebut terjadi karena ia banyak melihat praktek seperti diatas dari orang tuanya.
Mengapa
anak-anak suka bertengkar, suka marah, suka membicarakan keburukan orang lain, hendonis
dan lain-lain? Bisa jadi praktek dari orang tua dan lingkungannya juga seperti
itu.
Dengan
demikian bahwa senyum, sapa, salam, sopan, santun, pemaaf, penyabar, penyayang,
penolong, jujur,
Amanah dan sifat-sifat baik lainnya
jangan sampai ada di teori-teori saja bahawa sifat tersebut terpuji. Tapi harus
dipraktekkan oleh orang tua dan guru hingga sifat-sifat terpuji tersebut
melekat dan menjadi akhlaq anak-anak hingga dewasa dan tua.
Sebaliknya,
sifat pemarah, pendendam, pembohong, pelit, khianat dan sifat buruk lainnya,
jangan sampai ia sering melihat prakteknya karena itu lebih mudah anak-anak
mencontohnya.
Kesimpulan
Pada
umumnya banyak orang tua hanya memberikan teori-teori kepada anak-anaknya. Untuk
hal-hal baik , ia sampaikan harus begini atau harus begitu.
Sementara
untuk hal-hal yang buruk ia sampaikan jangan begini dan jangan begitu.
Padahal
kata harus atau kata jangan tersebut
adalah bentuk perintah atau larangan
yang merupakan sebuah teori, tapi jika praktek yang dilihat oleh anak-anak dari
orang tua sehari-hari justru
kebalikannya maka tunggulah saat-saat kehancurannya.
Itulah
fenomena yang terjadi sekarang, anak-anak banyak tahu teori tentang kebaikan, tapi anak-anak sedikit
melihat orang-orang yang mempraktekkan kebaiikan-kebaikan tersebut.
Ilustrasi :
Alkisah
ada lomba marah yang diikuti oleh tiga orang anak. Anak pertama maju ke atas panggung, lalu
mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut ia meluapkan rasa marahnya kepada sebuah
boneka yang diumpamakan sebagai adiknya. Tapi setelah ia selesai marah, kata
Dewan Juri belum lulus. Karena apa? Karena terakhir ia masih tersenyum kepada
boneka tersebut. Bukankah orang marah bisa-bisa tiga hari tiga malam selalu cemberut.
Dewan Juri bertanya, “Berapa lama belajar marah? Anak
itu menjawab, “ Saya belajar marah selama
satu bulan.”
Lalu
tampil anak kedua, ia marah kepada boneka diatas panggung, segala umpatan,
celaan dan caci maki keluar dari mulutnya, kapi setelah selesai kata Dewan Juri ia belum
lulus. Karena terakhir kepala boneka itu dielusnya, tanda masih ada sisa kasih
sayang.
Dewan Juri bertanya kepada anak kedua tersebut, “Berapa lama engkau belajar marah?
Anak itu menjawab, “Saya belajar marah selama dua bulan.”
Kemudian
tampil anak ketiga, dengan mata memerah, gigi gemertak, bibir bergetar ia marah
kepada boneka itu, bukan cuma kata-kata sumpah serapah yang keluar tapi tidak
lupa tangannyapun mendarat menjewer telinga boneka itu.
“Stop, hebat.” Kata Dewan Juri. “Ini
baru marah beneran, anak ketiga ini lulus dan menjadi juara pertama dalam lomba
marah tahun ini.”
Dewan Juri : “Berapa lama belajar marahnya?”
Anak ketiga : “Saya tidak pernah belajar marah.”
Dewan Juri : “lho kok bisa, anak pertama yang belajar satu bulan belum bisa marah
masih tersenyum. Anak kedua yang belajar marah dua bulan juga belum bisa marah
masih mengelus kepala boneka itu. Tapi
kamu tidak pernah belajar marah justru bisa benar-benar marah. Apa rahasianya?
Anak ketiga menjawab : “Karena
ayah dan ibu dirumah biasa marah saya seperti itu.”
Begitulah
contoh perbuatan lebih mudah ditiru anak ketimbang teori-teori. Seorang
guru di kelas akan sulit dan memerlukan waktu lama untuk mengajarkan
anak-anak cara-cara shalat, jika anak tersebut jarang melihat orang tuanya melaksanakan
sholat. Sebaliknya tidak perlu waktu lama guru mudah mengajarkan anak tersebut
cara shalat jika ia telah sering melihat
orang tuanya mendirikan shalat.
Muhammad Toha_SB3
Deteksi Dini 9 Kekeliruan dalam Mendidik Anak
Kekeliruan
Keempat :
PESIMIS
Pesimis
“Dizaman sekarang, jangankan yang halal
yang harampun sulit didapatkan!
Contoh lain lagi dari kalimat
pesimis, “Untuk apa rajin-rajin sekolah, sekarang sarjanapun banyak yang
nganggur!
Ungkapan-ungkapan
pesimis dari orang tua kepada anaknya seperti contoh diatas akan melahirkan
generasi yang tatapannya kosong, cara pandangnya kering kerontang, tutur
katanya tanpa energi dan tanpa harapan dimasa depan.
Optimis
Doa nabi Ibrahim as dibawah ini
adalah contoh peran seorang ayah dan seorang suami yang optimis, kelak optimism
ini akan berpengaruh hingga menjadi
keluarga besar yang optimis, setiap ada kesulitan mereka yakin selalu ada
kemudahan.
“Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah
menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman
di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati.
Ya Tuhan (yang demikian
itu) agar mereka melaksanakan shalat,
Maka jadikanlah hati
sebagian manusia cenderung kepada mereka dan,
Berilah mereka rizki
dari buah-buahan,
Mudah-mudahan mereka
bersyukur.” (QS. Ibrahim : 37).
Mari kita baca doa tersebut, yang
menggambarkan sikap optimis tingkat tinggi. Kalau anak istri nabi Ibrahim ditinggal
didalam hutan maka peluang optimisnya akan besar karena ada buah-buahan, tumbuhan,
akar dan daun. Tapi ternyata harus
ditinggal di tempat yang gersang dan tandus tanpa ada tanda-tanda kehidupan,
seakan maut di depan mata.
Ternyata berada dalam kondisi demikian
tidak membuat nabi Ibrahim as menjadi pesimis, justru kondisi itu ia balik 180
derajat, yaitu :
Pertama : Kalau pesimis maka dalam
kondisi tersebut orang akan mengeluh,
sambil berkata, “Akan makan apa dan
dimakan apa anak istriku disini?
Tapi
lilatlah nabi Ibrahim membaliknya 180 derajat dengan penuh optimis ia berkata,
“… Ya Tuhan (yang demikian itu) agar
mereka melaksanakan shalat,…”
Kedua : Kalau pesimis dalam kondisi
demikian orang akan mengeluh, “Disini
tidak ada orang sama sekali, lalu siapa yang akan menemani anak dan istriku.”
Tapi
lilatlah nabi Ibrahim membaliknya 180 derajat dengan penuh optimis ia berkata,
“… maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka …”
Ketiga : Kalau pesimis dalam kondisi
demikian orang akan mengeluh, “Disini anak dan istriku bisa mati kelaparan karena
tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada daun, rumput dan akar-akaran.”
Tapi
lilatlah nabi Ibrahim membaliknya 180 derajat dengan penuh optimis ia berkata,
“… Berilah mereka rizki dari buah-buahan,…”
Keempat : Kalau pesimis dalam kondisi
demikian orang akan mengeluh, “Kalau
begini anak istriku akan sedih, marah dan kecewa!
Tapi
lilatlah nabi Ibrahim membaliknya 180 derajat dengan penuh optimis ia berkata,
“…Mudah-mudahan mereka bersyukur…”
Lalu
sikap optimis nabi Ibrahim ini berbuah manis, karena seakan anak dan istrinya
merasakan getaran tersebut hingga dalam kesulitan mereka juga selalu
optimistis.
Kalau
pesimis dalam kondisi demikian Istri nabi Ibrahim as Siti Hajar yang ditinggal di tempat gersang dan tandus
tersebut hanya dengan bayinya Ismail tentu akan berputus asa, merana dan
kecewa.
Tapi lilatlah Siti Hajar
membaliknya 180 derajat dengan penuh optimis ia tidak berdiam diri, tapi
berusaha dengan berlari-lari dari bukit Safa sampai ke Marwa, ia mencari air, ia mencari kehidupan.
Hingga
kali ketujuh dalam lari-lari kecilnya lalu pertolongan Allah SWT datang, dari
sekitar bayinya Ismail tiba-tiba keluar air zam-zam. Hebatnya air tersebut bukan
hanya tersedia untuk Siti Hajar dan anaknya Ismail tapi ternyata penuh berkah,
meski telah ribuan tahun tapi masih bisa dinikmati sampai kita sekarang ini.
Kemudian
perhatikanlah sikap optimisme Ismail kecil dalam dialog dengan ayahnya berikut
ini, ““Maka ketika anak itu sampai (pada
umur) sanggup berusaha bersamanya (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku,
sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana
pendapatmu?”…. (As-Shaffat : 102).
Kalau
pesimis dalam kondisi demikian Ismail kecil akan berkata, “Tidak ayah, tidak perlu dipikirkan lagi, aku menolak mentah-mentah!”
Tapi
lilatlah Ismail kecil membaliknya 180 derajat dengan penuh optimis ia berkata
lembut kepada ayahnya, “Dia (Ismail)
menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah)
kepadamu! Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang
sabar.” (As-Shaffat : 102).
Muhammad Toha_SB3
Deteksi Dini 9 Kekeliruan dalam Mendidik Anak
Kekeliruan
Kelima :
MEMPOSISIKAN
DIRI SEBAGAI LAWAN
Posisi sebagai lawan
Ketika pulang dari kerja seorang ayah
berdiri didepan pintu, sambil memelintir kumisnya dengan mata yang melotot
memandang anak-anaknya yang sedang bermain, berlari dan bercanda ria dirumah.
Rupanya ketika anak-anaknya melihat kedatangan sang ayah membuat suasana
berubah 180 derajat, dari suasana anak-anak yang bermain riang gembira menjadi
mendadak sunyi senyap, satu persatu anak-anaknya masuk kedalam kamar, tanda bahwa mereka harus segera tidur, karena
jika sang ayah pulang tidak boleh ada suara berisik.
Kasihan
dalam suasana menegangkan seperti perang itu anak-anak usia dini tumbuh, jika
ayah dan ibunya seperti itu kepada siapa lagi mereka meraih perhatian dan kasih
sayang? Kepada siapa mereka curhat?
Kepada siapa mereka menceritakan suka dan dukanya?
Ada
orang yang merampas hak-hak anak-anaknya diwaktu kecil yaitu dengan cara
menjejalinya dengan belajar dan belajar, setelah pagi hari anaknya belajar di
sekolah, sore harinya ia suruh anaknya kursus di bimbel lalu malam harinya ia
panggil guru privat datang kerumah untuk mengajar anaknya tersebut.
Padahal
usia anak-anak seharusnya diberi ruang bermain yang lebih banyak, biarkan ia
belajar dalam bermain tersebut. Mungkin dalam bermain ia mengganggu orang lain
atau diganggu temannya tapi dari sana sesungguhnya ia sedang belajar arti hidup
secara sosial.
Dunia
anak-anak berbeda dengan dunia kita, justru jadi lucu kalau diusia anak-anak
sekecil itu ia bersikap seperti ayahnya yang
kerja, kerja dan kerja atau seperti ibunya yang arisan, arisan dan arisan
….hehe. Idealnya anak-anak adalah bersikap seperti anak-anak pada umumnya.
Posisi sebagai kawan
Perhatikanlah ketika Rasulullah saw shalat
Isya di suatu malam. Beliau memanjangkan salah satu sujud. Begitu panjang
hingga sahabat-sahabat beliau terheran-heran dan khawatir karenanya.
Usai
shalat, para sahabat bertanya pada beliau, “Ya
Rasulullah, engkau sujud lama sekali. Kami mengira terjadi sesuatu atau wahyu
turun kepada engkau.”
Rasulullah
Saw. tersenyum dan menjawab, “Semua itu tidak terjadi. Tadi putraku menaiki
punggungku. Aku tidak ingin mengganggunya sampai ia puas melakukannya.” (HR
Ahmad dan Nasa’i).
Bandingkanlah
perlakuan Al Aqra bin Habis dengan Rasulullah saw terhadap anak-anak berikut
ini :
Abu Hurairah
berkata, “Rasulullah mencium Hasan, sedangakan dihadapan beliau saat itu ada Al
Aqra bin Habis yang sedang duduk.
Al Aqra berkata, ‘Saya
punya sepuluh anak, tetapi saya belum pernah mencium seorang pun di antara
mereka.’
Rasulullah
memandang ke arahnya dan bersabda, ‘Barang siapa yang tidak punya rasa belas
kasihan, niscaya tidak akan dikasihi’.”
Ternyata kasih sayang tersebut bukan hanya bermanfaat
bagi anak-anak, tapi akan berbalik
bermanfaat bagi orang yang menyayangi, karena menyayangi sesama adalah pintu
untuk semakin membuka kasih sayang Allah swt.
Muhammad Toha_SB3
Deteksi Dini 9 Kekeliruan dalam Mendidik Anak
Kekeliruan
Keenam :
BANYAK
MENCELA
Banyak Mencela
Kata-kata seperti bodoh, nakal, pemalas,
penakut, pelit, mau menang sendiri adalah ungkapan yang sering disemprotkan
kepada anak-anak oleh orang tuanya.
Jika otak manusia diibaratkan banyak kamar, maka
mencela adalah menutup satu persatu pintu kamar yang didalamnya memuat banyak
bakat-bakat terpendam yang bisa melahirkan karya, inovasi dan berbagai kreasi.
Anak
yang sejak usia dini banyak dicela akan tumbuh dewasa menjadi orang yang selalu
menyalahkan orang lain. Apabila melihat orang yang menganggur ia menyalahkan
pemerintah yang tidak membuka lapangan pekerjaan dan apabila melihat orang yang
meminta-minta, ia menyalahkan orang kaya yang tidak peduli dengan sesama.
Banyak Menyanjung
Jika melihat anak-anak berbuat
kebaikan kecil saja maka janganlah berat untuk menyanjungnya dengan kata-kata
seperti; subhaanallah pinternya, anak manis, anak sayang, anak sholeh.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa jika ingin memerintah anak-anak satu kali maka
sanjunglah buat ia menyatakan kata YA tiga kali, agar yang keempatnya juga berkata
YA, seperti dialog berikut :
Ibu :
“Nak kamu manis ya?
Anak : “Ya”.
Ibu : “Anak sayang, kamu baik ya?
Anak : “Ya.”
Ibu : “Anak Ibu suka menolong orang tua ya?
Anak : “Ya.”
Ibu : Nak, tolong angkat jemuran!
Anak : “Ya.”
Begitulah,
sanjungan akan memunculkan motivasi untuk berbuat positive, sehingga pada
gilirannya anak-anak akan memiliki daya dorong, daya produksi dan daya pengaruh
yang baik di lingkungannya.
Mencela
akan membuat anak-anak lemah jika menemui halangan dan rintangan, ia akan
mencari alasan dengan
mengkambinghitamkan orang lain, sebaliknya jika selalu disanjung maka akan
membuat anak-anak kuat, ia akan selalu melihat halang rintang sebagai peluang.
Ilustrasi :
Alkisah sebuah perusahaan sandal mengutus
seorang pegawainya untuk menjual sandal ke suatu negeri. Selanjutnya datanglah si penjual sandal ke negeri tersebut. Betapa
terkejutnya ia karena ternyata di negeri itu tidak ada orang yang memakai
sandal, semua bertelanjang kaki.
“Disini siapa yang akan membeli sandal,”
gumam si penjual sandal. Ia mulai berpikir banyak yang melakukan kesalahan,
mulai dari pimpinan perusahaan yang
memerintahkannya untuk menjual sandal ke tempat tersebut, mengapa tidak
melakukan survey terlebih dahulu.
Kemudian
ia menyalahkan masyarakat negeri itu yang masih kuno, “Kok dizaman yang sudah maju seperti ini, dinegeri ini tidak ada yang
pakai sandal, apa kata dunia?
Akhirnya
ia pulang dengan membawa pikiran yang penuh dengan kesalahan orang lain, tentu
juga selain membawa pikiran yang berkecamuk dengan celaan tersebut, ia juga
kembali membawa sandal pulang ke perusahaannya utuh, sempurna seperti semula.
Berikutnya
pimpinan perusahaan mengutus orang kedua
dengan tugas dan tempat yang sama. Ternyata berbeda orang kedua justru melihat,
ketika dinegeri itu tidak ada yang memakai sandal ini adalah peluang. Ia dekati
penduduk satu persatu, ia jelaskan kerugian jika tidak memakai sandal dan
kuntungan jika memakai sandal.
Akhirnya,
sukses si penjual sandal kedua ini pulang ke perusahaanya bukan membawa sandal
lagi tapi membawa uang dan keuntungannya, karena sandalnya telah terjual habis,
satu persatu telah dibeli oleh penduduk
negeri antah berantah tersebut.
Muhammad Toha_SB3
Deteksi Dini 9 Kekeliruan dalam Mendidik Ana
Kekeliruan
Ketujuh :
MUDAH
TERPROVOKASI
Mudah Terprovokasi
Seorang anak mengadu kepada orang
tuanya, bahwa ia sering diganggu oleh
salah seorang temannya. Mendengar aduan tersebut sang orang tua langsung
mendatangi sekolah, melabrak anak yang suka mengganggu tersebut atau menghadap
guru meminta anaknya untuk pindah kelas atau pindah sekolah.
Padahal dalam dunia anak-anak saling
menggangu itu adalah hal yang biasa, perhatikan dua adik kakak saudara kandung yang
sedang bermain bersama, umumnya 15 menit pertama mereka damai, tapi menit-menit
berikutnya mereka akan ribut, karena saling berebut mainan, saling ejek bahkan bisa
berkelahi karena tidak ada yang mau mengalah.
Akan
tetapi lima menit setelah didamaikan orang tuanya, mereka seakan-akan tanpa dosa kembali bermain lagi seperti semula
dengan tanpa beban.
Motivasi Ketangguhan
Dengan demikian janganlah mudah
terprovokasi oleh anak-anak, tapi berilah ia nasehat kesabaran, daya tahan atau
motivasi ketangguhan.
Ingatlah hidup ini adalah persaingan,
pada gilirannya setelah dewasa anak tersebut akan hidup dalam dunia persaingan.
Umpama ia sebagai pedagang yang laris manis, tidak lama setelah itu akan ada
juga tetangganya yang membuka dagangan yang sama dengan kwalitas sedikit lebih
baik, misalnya dalam segi pelayanan.
Pasti
pelanggan anak yang telah dewasa tersebut akan segera berkurang karena lari ke
pedagang baru diatas, jika ia cengeng, mudah menyerah maka itu adalah
tanda-tanda atau alamat bahwa dagangannya akan segera gulung tikar.
Maka
para pemenang adalah siapa yang sabar, tangguh dan sanggup bertahan lebih
lama.
Ilustrasi :
Alkisah di sebuah lembah seekor induk
singa mengajari anaknya untuk berlari cepat. Sang anak singa bertanya kepada
induknya, mengapa harus berlari cepat-cepat?. Kata induknya karena untuk hidup
kita perlu makan, makanan kita adalah kijang, kijang larinya cepat, jadi kalau
mau bertahan hidup harus bisa berlari cepat.
Ternyata di sebuah lembah yang lain
seekor induk kijang juga mengajari anaknya untuk bisa berlari cepat. Sang anak
bertanya, mengapa harus bisa berlari cepat? Kata induknya karena singa menjadikan
kita sebagai makanannya, singa larinya cepat, jika dimakan singa kita
mati, jadi kalau mau hidup harus bisa
berlari cepat.
Muhammad Toha_SB3
Deteksi Dini 9 Kekeliruan dalam Mendidik Anak
Kekeliruan
Kedelapan :
ORIENTASI
HASIL
Orientasi Hasil
Seorang ibu nampak cemberut, karena
nilai anaknya turun dari rangking 1 menjadi rangking 5. Si anak nampaknya
menyamakan ‘suhu’ dengan ibunya, ia ikut-ikutan cemberut juga, tanpa senyum dan
tanpa kata yang terucap. Padahal menjelang ujian ia sudah rajin belajar
sebagaimana biasa tidak ada yang berubah, bahkan lebih banyak belajar dari
sebelumnya. Lebih dari itu ia juga senang membantu orang tuanya di sela-sela
istirahat belajarnya.
Sebaliknya
ditempat lain seorang ibu nampak bersuka cita, hingga saling coret baju dengan
anaknya yang kelas 3 SD seperti anak SMP atau SMA yang baru lulus sekolah.
Mengapa demikian karena tanda gembira
bahwa rangking anaknya naik drastis dari rangking 10 menjadi rangking
3. Padahal menjelang ujian anaknya sama
seperti yang dulu, hampir tidak pernah belajar dirumah, bahkan tidur dan nonton
TVnya lebih meningkat.
Begitulah
jika dua orang ibu-ibu lebih berorientasi hasil ketimbang proses, sedih dan
bahagianya menjadi tidak proporsional.
Orientasi Proses
Padahal proseslah yang umumnya mengantarkan orang
pada kesuksesan, baik sebagai pekerja, pengusaha maupun pejabat, umumnya karena
sebelumnya bahkan sejak kecil mereka adalah orang yang ulet dalam kehidupannya
maka menjadi sukses.
Dengan
demikian bukan nilai akhir seharusnya yang menjadi penyebab bersyukur atau
bersedihnya kedua orang tua diatas, tapi proseslah yang seharusnya menjadi
penilaian dari orang tuanya untuk diperbaiki atau ditingkatkan.
Kalau
anak tersebut rajin belajar, bersungguh-sungguh dan ulet maka itu harus
disyukuri meski mungkin karena faktor sakit gigi ketika ulangan di sekolah maka
nilai anaknya menjadi kecil atau menurun dari rangking sebelumnya.
Sebaliknya
jika anak tersebut tidak mau menyentuh buku sama sekali, seratus persen
waktunya untuk bermain, suka bermalas-malasan, maka factor ini yang harusnya di
evaluasi dan diperbaiki meski mungkin nilai di
buku raportnya besar karena bisa jadi
gurunya salah dalam menulis
nilai, maunya menulis angka 6, eh tertulis angka 9.
Ilustrasi
Alkisah, seorang guru ingin menguji tiga orang muridnya. Sekilas nampaknya
ujian tersebut tidak terlalu berat, karena ketiga murid tersebut diberi tugas
oleh sang guru untuk menyembelih masing-masing seekor burung merpati
dengan syarat tidak boleh ada yang melihat.
Dalam
rangka melaksanakan tugas mulia tersebut maka ketiga murid itu bersegera
memenuhi perintah lalu berjalan berpencaran untuk menyembelih burung merpati
itu. Mereka ada yang naik keatas bukit, lalu mengendap-endap setelah memastikan
bahwa tidak ada yang melihatnya, seperti pesan sang guru, maka ”crass”
leher burung merpati itupun dipotong, lalu burung merpati itu
menggelepar mengeluarkan darah dan ”meninggal dunia.”
Selanjutnya murid kedua juga melaksanakan tugas penyembelihan, ia berpikir
hanya didalam hutanlah tempat dimana tidak ada yang melihatnya. Akhirnya kedua
murid itu kembali kepada gurunya dengan puas karena telah berhasil memotong
leher burung merpati sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh guru mereka.
Akan
tetapi berbeda dengan murid yang ketiga, ternyata ia tidak dapat melaksanakan
tugas penyembelihan tersebut, bahkan ia pulang kembali kepada sang guru dengan
membawa burung merpati yang masih hidup segar bugar.
Kedua
temannya tentu terheran-heran melihat keanehan yang terjadi, karena murid
ketiga ini tidak dapat melaksanakan amanah ringan dari guru mereka tersebut.
Menyadari suasana tegang tersebut, sang guru langsung bertanya, : ”Mengapa
tugas penyembelihan itu tidak engkau laksanakan?
Murid itu menjawab, ”Karena syarat yang pak guru berikan begitu berat.”
Secara serempak kedua murid yang lain bertanya, ”Apanya yang berat?
Murid ke tiga itu menjawab, ” Saya telah berusaha mendaki gunung,
masuk kedalam hutan, bahkan menggali lobang turun kedalam kegelapan tanah. Tapi
dimanapun saya berada selalu ada yang melihat.”
Kedua murid itu kembali bertanya, ”Siapa yang selalu melihatmu?
Mendengar pertanyaan itu, murid ketiga itu menjawab singkat, jelas dan
padat, ” Allah SWT selalu melihat, kapanpun dan dimanapun
saya berada.”
Mendengar jawaban tersebut, maka pak guru yang bijaksana itu segera mengambil
burung merpati yang belum disembelih, sambil tersenyum ia berkata bahwa murid
ketiga itu telah lulus dalam ujian tersebut.
”Dan
Allah bersama kamu dimanapun kamu berada, dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu perbuat.” (QS. Al-Hadid : 04).
Lihatlah
anak ketiga tersebut bukan mengejar hasil ujian, tapi ia melakukan proses yang
benar, apapun hasilnya. Ternyata justru dengan melakukan proses yang benarlah,
yang akan melahirkan kesuksesan yang besar!
Muhammad Toha_SB3
Deteksi Dini 9 Kekeliruan dalam Mendidik Anak
Kekeliruan
Kesembilan :
MEMPERSULIT
Mempersulit & Mempermudah dalam Mengajar
Matematika
Terkadang sangat sederhana, ternyata kata ‘belajar
matematika’ adalah mempersulit bagi anak usia dini, sebaliknya kata ‘bermain
matematika’ adalah bentuk mempermudah. Perhatikanlah
dialog saya dengan seorang ibu berikut ini :
Ibu : ”Mengapa anak
saya tidak mau jika diajak belajar matematika?”
Penulis : ”Gimana cara ibu mengajaknya?
Ibu : ”Nak
mari kita belajar matematika!
Penulis : ”Gimana reaksi anak Ibu?
Ibu : ”Anak
saya menolak, jika diajak belajar justru ia mengajak makan atau bermain atau
tidur, ada-ada saja alasannya agar tidak belajar.”
Penulis : ”Berapa tahun
usia anak ibu?
Ibu : ”Tiga tahun.”
Penulis : ”Bu` sebaiknya jangan
katakan mari belajar kepada anak-anak usia dini. Karena kata-kata belajar adalah
mempersulit, bisa jadi membuat ia terbayang dengan kakak-kakaknya,
yaitu harus bangun pagi-pagi, segera mandi, sarapan, berpakaian, menyiapkan
buku dan tas, minta uang, berangkat kesekolah dan berpisah dengan orang tua
dalam waktu minimal setengah hari. Makanya kalau diajak belajar ia
cenderung menolak, karena belajar itu menurut gambarannya sangat menyulitkan.
Ibu : ”Lalu
gimana Pak, caranya?
Penulis : ”Jangan katakan belajar matematika
kepadanya, tapi ajaklah ia bermain matematika.”
Berikut
contoh mempermudah atau bermain matematika kepada anak usia dini, dengan
mengenalkan konsep bilangan satu.
SERBA SATU dalam SATU HARI (S3H).
Pertama : Ketika akan mandi
siapkan satu sikat gigi, satu pasta gigi dan satu gayung.
Ibu : Satu sikat gigi (sambil
mengambil sikat gigi tersebut).
Anak : Satu sikat gigi (pinta ia mengikuti ucapan
ibunya).
Ibu : Satu pasta gigi.
Anak : Satu
pasta gigi
Ibu : Satu
gayung.
Anak : Satu gayung.
Ibu : Berapa
jumlah sikat gigi?
Anak : Satu (Arahkan ia
agar mengucapkan kata satu).
Ibu : Berapa jumlah
pasta gigi?
Anak : Satu.
Ibu : Berapa jumlah gayung?
Anak : Satu.
Kedua : Setelah itu
dimeja makan, ketika akan makan siapkan satu piring, satu sendok dan satu
garpu.
Ulangi dialog seperti poin 1 (satu) dengan materi satu piring, satu sendok
dan satu garpu.
Ketiga : Didalam kamar siapkan satu bantal, satu baju dan satu hp. Lakukan dialog
yang sama seperti diatas dengan materi satu bantal, satu baju dan satu hp.
Keempat : Ketika sedang berjalan, sedang duduk atau sedang
berbaring cari objek dengan bilangan satu. Misalnya
melihat seekor kambing diajalan, tanyakan
berapa jumlah kambing? Melihat bulan dilangit, tanyakan ada berapa jumlah
bulan? Melihat satu pena di saku baju, tanyakan berapa jumlah
pena? Niscaya ia akan jawab selalu satu.
Mempersulit & Mempermudah dalam Mengajar Membaca
Misal dalam bidang bahasa. Ketika
saya lakukan survey kecil-kecilan, banyak guru atau orang tua yang menjawab
bahwa yang menyebabkan sulit mengajar membaca adalah karena anak-anak tidak
focus, anak pelupa, anak rewel, anak bandel dll.
Lihatlah
semua menyalahkan anak-anak, padahal dalam 9 Kekeliruan Mengajar Membaca yang
saya tuangkan dalam Metode SB3 (Satu Bulan Bisa Baca) yang merupakan solusi
dari SB6 (Sudah Ber Bulan-Bulan Belum Bisa Baca) tidak ada satupun penyebab
kesulitan tersebut ada pada anak-anak, tapi penyebabnya adalah pada metode dan
pada teknik guru yang menyampaikan.
Ibaratnya
anak-anak usia dini dikasih makanan nasi goreng panas, keras dan pedas. Tentu
ia akan menolak mentah-mentah.
Tapi
coba kepada anak usia dini tersebut dikasih susu atau bubur nasi maka tentu dia
akan menerima dengan senang hati.
Jadi
kesulitan dalam belajar membaca itu bukan factor usia anak-anak tapi lebih
kepada factor metode dan gurunya.
Tabel
9 Kesulitan Belajar Membaca dan 9 Kemudahannya
No.
|
Sembilan Kesulitan
|
Sembilan Kemudahan
|
1.
|
Mengeja.
|
Tidak
mengeja.
|
2.
|
Melompat,
seperti permainan catur.
|
Menyusun
seperti permainan puzle.
|
3.
|
Tidak
ada petunjuk. Mau dibawa kemana?
|
Ada
22 petunjuk bagi orang tua & guru.
|
4.
|
Tidak
ada kolom penilaian.
|
Terdapat
kolom penilaian.
|
5.
|
Tidak
ada target waktu.
|
Target halaman dan hari yang jelas.
|
6.
|
Saling
lepas, biasanya hubungan adik kakak.
|
Saling
berhubungan, suku kata.
|
7.
|
Memberi
ikan, berisifat insidental.
|
Memberi
pancing, digunakan kontinyu.
|
8.
|
Malas
menulis karena menulis .
|
Ada
kolom menulis yang proporsiaonal.
|
9.
|
SB6
(Sudah Ber`Bulan-Bulan Belum Bisa Baca).
|
SB3
(Satu Bulan Bisa Baca).
|
Penjelasan
lebih rinci tentang Deteksi Dini 9 Kesulitan Belajar Membaca tersebut dapat
diikuti pada acara Seminar & Pelatihan SB3, sedangkan 9 Kemudahannya dapat
dilihat di Buku SB3 atau di tempat Kursus Membaca Metode SB3,
Http://www.sb3center.com
Pusat
Pendidikan Training dan Kursus SB3
Sekretariat : Yayasan SB3
Jalan Lintas Timur Komplek Mutiara I Blok C No.36 Indralaya Ogan Ilir Sumsel
Email : Sb3bacalah@gmail.com Website : http://www.sb3center.com, Hp. 0813.67676766